BENGKAYANG,Kalbar.jurnalkalbarnews.com
Geliat proyek revitalisasi SD Negeri 09 Melikar di Kecamatan Sungai Betung, Kabupaten Bengkayang Kalimantan Barat, senilai Rp1,494 miliar, kini menjadi sorotan.
Dana besar dikucurkan pemerintah untuk memutakhirkan fasilitas pendidikan dasar itu ternoda oleh dugaan kuat penggunaan material konstruksi tidak layak dan berizin.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Bengkayang, Heru Pujiono, dalam pernyataannya mengeklaim bahwa program bantuan revitalisasi sekolah ini dilaksanakan langsung oleh kepala sekolah yang bertanggung jawab.
“Selain itu, Kepala sekolah juga sudah dipanggil ke Kemendikdasmen untuk diberikan pembekalan dan semua diasisitensi oleh Kemendikdasmen,” ungkap Heru, mencoba meyakinkan publik tentang prosedur yang telah diikuti.
Duga Kuat Sekali
Namun, klaim pemerintah bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Keluhan berasal dari warga sekitar yang meragukan kualitas pembangunan.
Salah seorang warga yang enggan disebutkan namanya menyatakan kekhawatirannya. “Pakai pasir dan batu menggunakan pasir galian dari lokasi penambang emas ilegal. Bahkan minimnya pengawasan,” tuturnya.
Kecurigaan warga terbukti. Hasil penelusuran jurnalis di lokasi membenarkan bahwa material sirtu (pasir dan batu) yang digunakan diduga kuat berasal dari limbah dompeng (alat penambang emas) di Dusun Sebadas, Desa Suka Bangun.
Lokasi ini bukan merupakan area tambang resmi yang berizin. Pasir yang dipakai juga diduga merupakan material alam yang diambil tanpa izin atau ilegal.
Ancaman Hukum Serius
Penggunaan material dari sumber tidak berizin ini jelas melanggar sejumlah regulasi. Tindakan ini berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) yang mengatur ketat peredaran dan pemanfaatan bahan galian. Lebih dari itu, hal ini juga bertentangan dengan ketentuan teknis konstruksi bangunan pemerintah yang mensyaratkan material standar untuk menjamin keamanan dan keselamatan bangunan.
Pelanggaran ini bukan hanya soal administratif, tetapi menyangkut masa depan dan keselamatan ratusan siswa dan guru yang akan menggunakan gedung sekolah tersebut. Konstruksi yang menggunakan material tidak standar berisiko menyebabkan kerusakan struktural pada bangunan dalam jangka pendek maupun panjang.
Situasi ini diperparah oleh minimnya transparansi dan lemahnya pengawasan di lapangan, yang memperkuat dugaan adanya “permainan” antara pengawas proyek, pelaksana, dan pihak sekolah. Pada proses pengerjaan, adukan semen terpantau masih dilakukan secara manual dengan menggunakan sirtu campur. Praktik ini diduga dilakukan untuk mengejar target waktu pengerjaan dengan prinsip “asal cepat jadi”, mengabaikan standar kualitas yang semestinya.
Masyarakat setempat, yang diwakili oleh Aris, menegaskan sejumlah tuntutan. “Pertama, proyek harus memenuhi standar konstruksi pemerintah. Kedua, material wajib berasal dari sumber berizin. Ketiga, pengawas, pelaksana, dan pihak sekolah harus terbuka dan transparan. Keempat, harus ada investigasi menyeluruh dan tindakan tegas bila terbukti terjadi permainan,” tegas Aris.
Desakan masyarakat ini merupakan bentuk kewaspadaan publik terhadap potensi pemborosan anggaran negara dan praktik ketidakjujuran dalam proyek vital pendidikan. Pemerintah daerah dan pihak berwenang dituntut untuk segera mengambil langkah investigatif dan korektif. Dana pendidikan Rp1,4 miliar harus dipertanggungjawabkan, bukan hanya pada kertas laporan, tetapi pada kualitas nyata sebuah gedung sekolah yang akan mencetak generasi penerus bangsa. Kepercayaan publik sedang diuji.
publis: Sanawiyah















