Blog  

Suap untuk Sunyi: Ketika Berita Harus Dibungkam dengan Cuan

banner 728x250

 

 

Pontianak,Kalbar.jurnalkalbarnews.com

Di sudut kota Pontianak yang berkabut peluh industri dan harapan para pengusaha, terdengar gema lirih rekaman yang bukan nyanyian cinta, melainkan simfoni negosiasi bernada tinggi dan berdetak detik demi detik menuju absurditas jurnalistik. Sebuah rekaman yang beredar seperti angin malam membawa aroma skandal. Bukan kabar gembira, bukan pula duka cita, melainkan kabar tentang bagaimana berita bisa dibungkam, asal nominalnya tepat: Rp5 miliar.

 

Bayangkan, sebuah angka tak main-main—angka yang biasanya menghiasi pengajuan proyek pembangunan jembatan, kini ditawarkan untuk membangun jembatan keheningan dalam halaman media.

 

Dalam rekaman itu, terdengar suara-suara yang tak berbisik, melainkan tegas, seolah sedang melelang harga sebuah ketenangan. Mula-mula disebut angka fantastis: Rp5 miliar. Namun, ketika lawan bicara menegaskan bahwa itu harga yang terlalu mewah untuk sekadar bungkam berita, tawaran itu pun melunak menjadi Rp700 juta.

 

Apakah ini diskon spesial karena mendekati Lebaran? Ataukah ini hanya strategi tawar-menawar khas pasar tradisional? Entahlah. Yang jelas, isi rekaman ini bukan bahan stand-up comedy, meski mengundang gelak getir dari nurani wartawan sejati yang selama ini bertempur demi kebenaran, bukan demi rekening.

 

Oknum wartawan yang disebut-sebut dalam drama audit moral ini bukan dari gang sebelah. Ia—katanya—berdomisili di Pontianak dan terafiliasi dengan media nasional yang dikenal luas. Dalam narasi yang beredar, ia bahkan mengancam akan menggandeng kawan-kawan seprofesi dari media besar untuk membanjiri publik dengan narasi yang menghantam bisnis seorang pengusaha.

 

Maka lengkaplah, tontonan ini bukan lagi tragedi personal, tetapi semacam opera sabun lintas profesi.

 

Di sisi lain, sang pengusaha, dengan wajah yang mungkin kini lesu, bersikeras bahwa ia menjalankan usaha secara legal. Semua dokumen lengkap, izin jelas, dan aktivitas usaha tercatat resmi. Tapi hukum logika rupanya belum cukup melindungi bila logika uang mulai bekerja.

 

Ia menolak tegas permintaan itu. Bahkan ketika angka Rp5 miliar didiskon drastis ke Rp700 juta—ia tetap tak goyah. Bukan karena tak mampu, tapi karena tak mau menyerah pada praktik yang mencoreng wibawa jurnalisme dan menciptakan iklim bisnis setara neraka tropis: panas, penuh tekanan, dan tak menentu.

 

Sumber dekat pengusaha itu pun angkat bicara. Ia mengaku bahwa tindakan oknum wartawan tersebut telah menciptakan situasi tak nyaman bagi para pelaku usaha lainnya. Iklim investasi yang seharusnya segar seperti udara pagi, kini terasa seperti asap knalpot bus kota.

 

Aroma tak sedap ini rupanya sudah menguar ke ruang-ruang institusi hukum. Kepolisian Daerah Kalimantan Barat (Polda Kalbar) pun digedor. Desakan menguat agar institusi berseragam cokelat itu tak hanya menjadi penonton di barisan tribun, tetapi ikut masuk lapangan, menggiring pelaku yang diduga melakukan pemerasan.

 

“Kalau ini dibiarkan, siapa lagi yang bisa percaya pada pers?” kata sumber itu, sambil menambahkan bahwa media jangan dulu merilis audio rekaman sebelum aparat hukum bertindak. Ia tahu betul, sekali rekaman dipublikasikan, bisa jadi lebih dari sekadar skandal—bisa menjelma jadi fitnah masif atau panggung tuduhan balik.

 

Namun, bukankah publik pun berhak tahu bagaimana permainan ini dijalankan?

 

Jurnalisme idealnya adalah mata ketiga publik—netral, tajam, dan tak bisa dibeli. Namun jika benar dugaan ini, maka pena telah kehilangan tinta kejujurannya dan berganti dengan cairan rupiah.

 

Dalam dunia yang kian digital dan terbuka, jurnalisme seharusnya menjadi penuntun, bukan pemeras. Menyuarakan yang lemah, bukan melemahkan yang bersuara. Menyajikan fakta, bukan memutar balik realita.

 

Namun, dalam kasus ini, jurnalistik seperti sedang duduk di meja restoran bintang lima, menunggu pesanan berita dari dompet yang paling tebal. Kalau pesanannya berhenti, berita bisa juga ikut berhenti. Asal bayarnya pas.

 

Malam di Pontianak kembali tenang. Tapi di balik tenangnya, gema rekaman itu masih berputar di kepala masyarakat Kalbar yang mengidamkan pers yang mencerahkan. Jika berita bisa dihentikan dengan uang, maka siapa yang masih percaya pada kebenaran yang dibaca dari layar ponsel setiap pagi?

 

Kini, bola panas itu ada di tangan aparat. Publik menunggu, bukan hanya siapa yang salah, tetapi apakah hukum bisa lebih tajam dari angka lima miliar.

 

Dan di tengah semua ini, wartawan sejati menangis dalam diam. Bukan karena tak punya uang, tapi karena profesinya dijual murah oleh satu-dua oknum yang menyulap pena menjadi alat pungli berjubah narasi.

 

Publis: Sanawiyah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Example 728x250